EKSISTENSI GARIS BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Latar Belakang

Jalesveva Jaya Mahe (di laut kita jaya) sebuah slogan yang mengingatkan akan kejayaan nenek moyang Bangsa Indonesia sebagai pelaut ulung yang gemar mengarungi samudra di seluruh wilayah nusantara. Laut luas yang merangkai kepulauan Indonesia merupakan anugerah yang luar biasa yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia, dengan menyandang sebutan negara bahari yang memiliki potensi wilayah kelautan yang sangat besar. Di samping penampilan landscape Indonesia berupa hamparan kepulauan yang menjadi ladang subur, namun juga potensi wilayah lautnya tak kalah subur dan melimpah. Disepanjang wilayah perairan, baik secara horisontal yang merupakan kelanjutan dari daratan, dan secara vertikal baik itu yang berada pada permukaan laut maupun didasar laut (sea bed dan subsoil), yang sangat kaya akan potensi mineral dan sumber daya alam (natural resource). Secara keseluruhan luas wilayah Indonesia mencapai 5,8 juta km² atau sama dengan 5.193.252 km², dengan 1.904.569 km² atau sama dengan 1/3 luas daratan dan dominasi 2/3 atau sama dengan 3.288.683 km² berupa perairan, sehingga Indonesia diakui sebagai negara maritim dan juga negara kepulauan (archipelagic state) sejumlah 17.504 pulau, diuntai sepanjang 80.791 km² garis pantai sekaligus terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dan sebagai negara kepulauan terbesar dunia. Hal ini tidak didapatkan dengan mudah, namun inilah hasil perjuangan panjang Ir. H. Djoeanda yang saat itu menjadi Perdana Menteri RI pada saat itu, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia mencakup kedaulatan di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Nusantara. Dalam buku pintar seri senior disebutkan  mengenai letak Gugusan  kepulauan Indonesia  diantara Garis 6° Lintang Utara 11° Lintang Selatan, dan diatara Garis Meredian 95° dan 141° Timur Greenwich. Dengan wilayah dan potensi yang dimiliki oleh Indonesia tersebut, maka dibutuhkan peraturan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang berdaulat. Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi pondasi dari adanya tujuan penyelenggaraan pemerintah dan arah pembangunan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu dalam alinia ke empat yang menyatakan bahwa, “…untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebagsaan Indonesia dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia…” Tujuan bangsa Indonesia dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, sangat jelas mencerminkan adanya keterkaitan hubungan antara tiga komponen utama (unsur konstitutif) dari negara yang meliputi: wilayah, penduduk, dan pemerintah yang berdaulat. Dalam hukum internasional diketahui terdapat komponen tambahan yaitu, adanya pengakuan (Recognition) merupakan unsur deklaratoir, sebagai kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain (capacity to enter into relations with other state), namun pengakuan bukanlah komponen yang mutlak dalam eksistensi suatu negara. Seperti yang dikemukakan oleh the institute de Droit International, bahwa keberadaan suatu negara baru dengan segala konsekuensi hukum yang mengikutinya diakui secara sah, meskipun terdapat penolakan atau tidak diakui oleh satu atau lebih negara lain (the existence of the new State with all the legal effects connected with the existence is not affected by the refusal of one or more State to recognize). Sehingga keberadaan suatu negara tetap akan sah secara kontitusional meskipun secara faktual tidak memperoleh pengakuan dari negara-negara lain. Terkait dengan wilayah, negara memiliki wilayah darat, laut, dan udara. Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah tersebut maka pemerintah harus membentuk dan menetapkan aturan yang jelas mengenai ketentuan perbatasan negara. Tujuan adanya kejelasan ketentuan perbatasan ini adalah untuk menjamin keutuhan wilayah dan kejelasan terhadap pemberlakuan yurisdiksi negara pada wilayah tersebut. Perbatasan-perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam kedaulatan territorial. Pentingnya penetapan perbatasan bagi suatu negara, ialah bermula ketika perbatasan berperan sebagai pintu gerbang (gateway) yang menghubungkan antara satu negara dengan negara lain. Keberadaan perbatasan merupakan manifestasi utama terhadap wilayah negara, dengan peran penting yang mencakup batas yuridiksi dan kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam (natural resouces) dan buatan (artificial resources), kepastian hukum bagi penyelenggaraan pembangunan, serta unsur keamanan dan keutuhan nasional. Pertimbangan ini mendasari perlunya aturan hukum (magna charta) dalam mengelola pulau kecil terluar, sekaligus mengakomodasi berbagai kepentingan secara komprehensif. Maka pada 29 Desember 2005 telah ditandatangani Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, dengan kebijakan pembangunan berdasarkan Wawasan Nusantara, serta berkelanjutan dan berbasis masyarakat, dan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah.  Sebagai suatu Archipelgic State (negara kepulauan) saat ini di Indonesia diketahui terdapat 92 pulau kecil terluar di 20 Provinsi, yang sebagian berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga Berdasarkan data informasi wilayah perbatasan NKRI Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri RI tahun 2005. Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara, di wilayah daratan dengan tiga negara dan wilayah laut dengan 10 negara. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2005 disebutkan, 92 pulau terluar di Indonesia yang berbatasan dengan beberapa negara tetangga meliputi Negara Malaysia (22 pulau), Vietnam (dua pulau), Filipina (11 pulau), Singapura (4 pulau), Australia (23 pulau), Timor Leste (10 pulau) dan India (12 pulau). Perbatasan memang tidak hanya ditentukan pada wilayah konvensional seperti daratan, udara, maupun lautan, namun dengan banyaknya pulau dan wilayah daratan yang berhubungan atau berbatasan langsung dengan negara lain, tentunya akan menimbulkan permasalahan tersendiri jika batas yang dimaksud adalah pada bagian landas kontinen.  Adanya pengaturan dan penanganan yang khusus dari pemerintah sangatlah urgen dalam hal ini. Batas Landas Kontinen (BLK), adalah landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran laut tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 m. Di bagian Utara Propinsi Kalimantan Barat terdapat suatu penampakan alamiah yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia yaitu Gosong Niger, yang berbatasan langsung dengan Negara Federasi  Malaysia. Dalam rangka pemanfaatan, eksplorasi dan eksploitasi terhadap Gosong Niger yang terletak diantara dua negara yang saling berdampingan (adjacent state) Indonesia dan Malaysia, maka dibutuhkan adanya suatu kejelasan mengenai ketentuan garis batas landas kontinen, sehingga tidak menimbulkan adanya permasalahan dikemudian hari. Isu Gosong Niger muncul pada awal tahun 2006, dilatar belakangi kegiatan survey potensi sumberdaya laut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, yang ternyata melintas koordinat 2,172804 LU dan 109,677187 BT atau sekitar 0,7 mil di luar garis batas. (Pontianak Post, 23 Januari 2006:1). Lokasi Gosong Niger memang berada di kawasan perbatasan laut antara Indonesia dan Malaysia, berjarak sekitar 5,5 mil laut dari Tanjung Datuk. Dengan perkiraan luas mencapai 50 km², namun kondisi fisik selamanya terendam di bawah permukaan laut sedalam 4-12 (empat-duabelas) meter. Maka secara penampakan (geographical features), istilah gosong untuk Gosong Niger adalah penyebutan gundukan yang tenggelam di perairan dangkal. Memang perlu penelitian lebih lanjut mengenai aspek geologi, terminologi bahasa maupun bingkai ilmiah, tapi dalam bahasa Inggris telah dikenal sebagai sand-bar. Gosong Niger bukan merupakan suatu pulau, sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 definisi pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada saat air pasang, sedangkan devinisi pulau kecil menurut PP Nomor 78 Tahun 2005 pada bab 1, pasal 1.b, yakni: “Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km², memiliki titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal pulau sesuai hukum internasional dan nasional”. Sehingga dapat ditarik konklusi terhadap definisi pulau kecil terluar  bahwa pulau tersebut berada pada bagian terdepan dari wilayah suatu negara yang berhubungan atau berbatasan langsung dengan suatu negara. Gosong Niger walaupun berada pada bagian terdepan dari wilayah Indonesia, belum dapat dikategorikan sebagai pulau seperti dimaksud oleh konvensi. Walaupun demikian tidak menjadikan eksistensi dan peran Gosong Niger terabaikan. Ketentuan titik dasar (TD) No.35 menjadi patokan klaim Indonesia atas Gosong Niger yang berada di sebelah utara Tanjung Datuk dan sekaligus pengakuan Indonesia bahwa Gosong yang berada di sebelah timur Tanjung Datuk adalah wilayah Malaysia. Ujung Tanjung Datuk menjadi patokan klaim batas daratan yang disetujui oleh Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1976 merujuk pada perjanjian batas darat Hindia Belanda dan Inggris pada tahun 1981. namun perjanjian tersebut tidak mengatur penetapan atau delimitasi wilayah laut, sehingga garis batas wilayah laut Indonesia-Malaysia di kawasan Tanjung Datuk dan Cina Selatan, diatur dengan Persetujuan Batas landas kontinen Indonesia-Malaysia tahun 1969. Berkaitan dengan kesepakatan batas Landas Kontinen pada 27 Oktober 1969 antara Indonesia dengan malaysia, dan diratifikasi dalam Keppres 89/1969 khususnya titik koordinat timur (LCS 21-25), kawasan Gosong Niger membelah garis batas (dasar) laut di mana 2/3 bagiannya berada di teritorial Indonesia. Sebagai dua negara pantai yang berdampingan (adjacent states), Indonesia dan Malaysia memiliki klaim wilayah laut yang tumpang tindih (overlapping claim) di sekitar Gosong Niger. Malaysia menafsirkan garis batas landas kontinen antara Indonesia-Malaysia adalah garis ZEE (zona ekonomi eksklusif). (Rusdi Ridwan, Batas-batas Maritim NKRI dengan Negara Teangga, Jakarta 26 Juni 2006). Maka dalam hal ini dapat membuka potensi sengketa antar negara (dispute) dalam berbagai kasus menyangkut kegiatan ekploitasi, eksplorasi, dan pengelolaan wilayah. Dengan kondisi geografis Gosong yang berupa gundukan tenggelam jika tidak dilakukan pemetaan secara jelas akan membahayakan navigasi, tidak menutup kemungkinan pemetaan tersebut dilakukan juga diseluruh gosong di kawasan kepulauan di seluruh Indonesia. Dalam PLI (Peta Laut Indonesia), Gosong digambarkan biru muda. PLI terakhir dibuat tahun 1992 dan belum diperbaharui. Isu Gosong Niger menunjukkan pemerintah daerah belum mampu sepenuhnya mengendalikan wilayah administrasinya. Ketidakmampuan itu antara lain karena aparat pemerintah daerah terlalu lama berada dalam sistem sentralisasi sehingga belum mampu menyesuaikan diri sepenuhnya dengan sistem desentralisasi. Adanya aktifitas yang dilakukan oleh malaysia disekitar kawasan tersebut, jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan maka dalam jangka waktu 25 tahun maka Gosong Niger akan bernasib sama dengan Pulau Simpadan Ligitan atau bahkan akan menimbulkan ketegangan seperti yang dialami oleh Blok Ambalat, dimana awal tahun 2007 ini permasalahanya kembali tercium. Pembiaran terhadap keberadaan Gosong Niger dapat menimbulkan bibit masalah bila Malaysia sudah terlebih dahulu mengelola Gosong tersebut. Negara yang melakukan effective occupation akan lebih diakui di muka hukum dibandingkan dengan negara yang melakukan pembiaran terhadap kawasan yang diklaim sebagai miliknya. Gosong Niger sebagai kelanjutan dari wilayah daratan Indonesia dan Malaysia, oleh karena itu perlu adanya ketegasan menyangkut keberadaan Garis batasnya, selain untuk mewujudkan kepastian hukum dan eksistensi terhadap keberadaan, yang tak kalah pentinya adalah agar tidak menimbulkan konflik dikemudian hari antara kedua negara yang bersangkutan.

B. Perumusan Masalah

1.      Bagaimanakah penetapan garis batas landas kontinen di Gosong Niger antara  pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Malaysia menurut ketentuan hukum Laut Internasional?

2.      Bagaimanakah tindakan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan eksistensi Gosong Niger sebagai landas kontinen yang merupakan yurisdiksi Indonesia sebagai Negara pantai ?

Hubungan Hukum Internasional dengan HAM

Ciri Khas Hukum Internasional pada Umumnya
Hukum internasional, secara tradisional, dimengerti sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, dengan menggunakan norma-norma yang mengikat negara bersangkutan, yang disepakati dengan sukarela. Secara tradisional, hukum internasional, dimengerti keberadaannya, didasarkan pada persetujuan dan konsensus yang secara eksplisit dinyatakan negara-negara yang menyetujuinya. M. Virally menyatakan, hukum internasional dapat juga hukum politik internasional, disebabkan:
1. bertujuan atau ditujukan untuk kepentingan yang pada hakikatnya adalah politik. yakni kepentingan negara sebagai kesatuan politik;
2. pembentukannya tergantung dari kemauan politik negara;
3. diwujudkan oleh organ-organ politik, pemerintah negara, tanpa harus diuji oleh instansi yang mandiri.

Ciri hukum internasional penting lainnya, tidak ada lembaga atau institusi yang dapat melakukan pemaksaan dipatuhinya norma internasional yang ada, walaupun dalam perkembangannya, terus diciptakan aneka prosedur untuk penyelesaian sengketa jika tidak dipenuhi atau dipatuhinya kewajiban internasional oleh sebuah negara terhadap negara lainnya, seperti mekanisme perantaraan, angket, konsiliasi, atau arbitrase. Terkadang, jika tidak ada prosedur yang dapat diterima dan dapat menyelesaikan sengketa secara efektif, sebuah negara atau beberapa negara, secara sepihak melakukan dan menggunakan kekerasan bersenjata.

Sejak ditetapkannya, Piagam PBB, penggunaan kekerasan bersenjata secara sepihak oleh negara, dilarang untuk menyelesaikan hampir semua masalah yang terjadi di dunia. Biasanya dilakukan penerapan sanksi—sanksi walaupun perlakuan atau penerapan sanksi juga mendapat keberatan yang besar. Sebagai contoh, sanksi embargo ekonomi, terhadap negara yang dinilai melanggar perjanjian internasional, tnengundang polemik, karena bukan raja berakibat kepada aparat negara, yang telah melakukan pelanggaran, tetapi juga berakibat negatif terhadap penduduk atau rakyat di negara bersangkutan. Sebagai catatan, agresi militer pimpinan Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya, merupakan bentuk tradisional penyelesaian masalah dunia, yang dilarang oleh Piagam PBB.

Khususnya, Perserikatan Bangsa-bangsa, dan organisasi-organisasi internasional umumnya, dalam perkembangannya telah mengubah sifat hukum internasional yang tradisional. Dalam forum yang diselenggarakan organisasi internasional— yang dihadiri perwakilan-perwakilan negara dapat dikemukakan praktik-praktik hukum negara-negara dan dapat dijadikan sarana pengintegrasian opinion iuris. Forum semacam ini dapat mewujudkan hukum kebiasaan internasional, bahkan forum organisasi internasional dapat secara langsung membentuk peraturan (perjanjian) internasional. Dengan menggunakan forum organisasi internasional, para perwakilan negara, dapat memberikan interpretasi hukum perjanjian, hukum kebiasaan dan aturan-aturan hukum yang berlaku umum. Selain itu, di bawah organisasi internasional, berkembang juga bentuk-bentuk baru pengawasan internasional dan prosedur penyelesaian sengketa secara damai—terutama memperoleh kewibawaannya, jika melibatkan para ahli independen. Tindakan paksaan, dalam skala tertentu, dapat dimungkinkan oleh Dewan Keamanan, berdasarkan aturan yang dimuat dalam Bab VII Piagam PBB.Dalam hal, terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan sebuah negara, maka Dewan Keamanan berkomunikasi dengan Badan-badan HAM PBB dapat mengeluarkan resolusi untuk membentuk Pengadilan Internasional, seperti Pengadilan Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia, dan Pengadilan Internasional untuk Rwanda.

Ciri Khas Hukum Internasional untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hukum internasional yang umum, hanya mengatur negara sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional hak asasi manusia berbeda, meskipun status individu sebagai subjek internasional belum diatur secara sempurna, namun hukum internasional hak asasi manusia sudah mengakui individu, sebagai subjek hukum internasional.

Sebagai subjek hukum internasional, individu, pada umumnya belum berperan secara mandiri, karena jika terjadi kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia, tnaka setidak-tidaknya negara, ditempatkan dalam entitas yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan dan pelanggaran hak asasi, atau setidak-tidaknya, negara dap& dinilai telah lalai dalam kewajiban internasionalnya mencegah kejahatan yang terjadi, atau sebaliknya negara tempat terjadinya kejahatan dapat menuntut pihak-pihak yang melakukan kejahatan.

Perkembangan hukum internasional, terutama setelah Perang Dunia ke-1, telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum internasional yang mandiri dalam tata hukum internasional. Pembentukan pengadilan internasional Nuremberg dan Tokyo, telah mendudukan individu, sebagai subjek hukum yang dituntut atas kejahatan perang yang dilakukannya. Selanjutnya, individu dalam hukum internasional hak asasi manusia, dalam perkembangannya juga dapat membela hak-haknya secara langsung, awalnya berlaku menurut hukum masyarakat Erope dalam Konvensi Eropa, serta berlaku dalam Konvensi Amerika.Individu dapat membela dirinya sendiri, juga dikenal dalam hukum pegawai negeri internasional.

Pengakuan individu dalam hukum internasional hak asasi manusia, juga dicantumkan dalam Pasal 14 Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Protokol Opsional Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan hak petisi atau prosedur pengaduan bagi individu. Demikian juga hak buruh untuk menyampaikan pengaduan yang diatur dalam konvensi ILO.

Perkembangan-perkembangan tersebut adalah perkembangan yang memberikan harapan, walaupun hukum internasional tidak terlepas dengan kepentingan “politik” negara. Demikian juga pemberlakuan prosedur internasional tidak terlepas, dari sifat politik. Dapat dikatakan, harapan yang besar muncul, disebabkan hukum internasional hak asasi manusia secara konsisten mengatur kewajiban internasional bagi semua negara untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, memenuhi—memfasilitasi dan menyediakan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya setiap orang dan kelompok.

Sistem hukum internasional hak asasi manusia, juga telah mengakibatkan munculnya kewajiban korporasi internasional bertindak sesuai dengan norma dan standar hak asasi manusia. Dalam konteks ini, penting untuk mencatat perkembangan terbaru, saat dikeluarkannya sebuah resolusi, yang diadopsi pada 13 Agustus 2003, yang menyatakan korporasi trans/multinasional (TNCs/MNCs) perlu terikat dengan hukum internasional hak asasi manusia. Namun, mekanisme ini masihlah jauh dari sempurna, karena Sub-Komisi belum dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap masalah Sebagai penutup, hukum internasional hak asasi manusia, juga memberikan perhatian besar kepada organisasi non-pemerintah (non-governmental Organisation) untuk berperan aktif dan terlibat dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa, dapat memberikan status konsultatif (consultative status) kepada organisasi non-pemerintah, untuk terlibat dalam forum-forum internasional yang membahas isu dan problem hak asasi manusia.

Daftar Pustaka
Instrumen internasional pokok hak-hak asasi manusia Oleh Adnan Buyung Nasution